Artikel Smart ABA dan Smart BIT
Pesan Untuk Orangtua Anak Autistik
Autisme, smart ABA & smart BIT untuk Autisme
dr Rudy Sutady, SpA, MARS, S Pd.I (Konsultan smart ABA & smart BIT untuk Autisme)
Artikel ini telah dibaca: 10230 kali » sejak 30 Maret 2017
Waktu terakhir dibaca: 13 September 2023 » Jam 11:46:02
Pesan Untuk Orangtua Anak Autistik
Autisme, smart ABA & smart BIT untuk Autisme
dr Rudy Sutady, SpA, MARS, S Pd.I (Konsultan smart ABA & smart BIT untuk Autisme)
Pesan Untuk Orangtua
dr Rudy Sutady, SpA, MARS, S Pd.I
(Konsultan smart ABA & smart BIT untuk Autisme)
Bagi orangtua yang anaknya baru saja didiagnosis autisme, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Jika orangtua tidak faham apa itu autisme, mungkin diagnosis autisme tidak berpengaruh pada orangtua. Namun jika orangtua tahu atau kemudian tahu atau faham tentang autisme, maka akan terjadi suatu rangkaian reaksi yang disebut sebagai coping-mechanism yaitu sebagaimana yang umum terjadi pada seseorang dalam menghadapi/mengalami suatu kenyataan berat seperti misalnya saat seseorang diberitahu menderita kanker, atau saat seseorang kehilangan orang yang dicintainya, dan lain sebagainya.
Reaksi/respons yang pertama terjadi adalah awalnya orangtua akan syok, kaget, dan tidak percaya serta mempertanyakan diagnosis. Bisa jadi kemudian orangtua mencari second-opinion dari dokter yang lain, bahkan mungkin tidak cukup 1-2 dokter saja. Hal ini bisa menyebabkan tertundanya intervensi dini yang sangat dibutuhkan oleh anak autistik. Hal yang berbahaya ialah jika dalam perjalanan shopping dokter ini, kemudian bertemu dengan dokter yang tidak menguasai autisme tetapi dengan menyakinkan mengatakan bukan autisme, sehingga menyebabkan orangtua tidak lagi mencoba mencari tahu atau mendapatkan diagnosis.
Namun orangtua yang memperhatikan anaknya, kemudian akan menyadari bahwa anak autistiknya memang benar-benar berbeda dengan anak sepantarannya seumumnya, apakah itu dibandingkan dengan kakaknya waktu seumur anaknya yang sekarang, atau dibanding sepupu anaknya, atau dibanding anak teman atau tetangga. Yang pasti orangtua yang memperhatikan anaknya akan melihat perbedaan tersebut, dan atau menyadari bahwa anak autistiknya tidak juga mengalami kemampuan yang diharap-harapkan misalnya tidak juga anak berbicara, dan atau semakin jelas terlihat perilaku autistiknya. Jika kemudian orangtua melanjutkan lagi shopping dokter untuk mendapatkan diagnosis, dan kemudian mendapati dokter yang bisa menyakinkan atau bisa memberi diagnosis dengan yakin dan benar serta disertai dasar-dasarnya, maka mungkin rangkaian respons/reaksi berikutnya yaitu marah dan menyalahkan.
Pada rangkaian respons yang berikut ini orangtua akan marah terhadap berbagai hal dan menyalahkan segalanya. Mungkin marah dan menyalahkan diri sendiri, atau saling menyalahkan antara suami-istri atau terhadap orang lain. Bahkan mungkin marah kepada Tuhan yaitu kenapa diberi anak autistik, why me?!
Setelah terjadinya respons/reaksi marah dan menyalahkan, hal yang berikut yang terjadi yaitu penyangkalan (denial). Dalam tahap ini orangtua belum bisa menerima bahwa kenyataannyalah anak mereka autistik, sehingga bukannya berjuang (fight) untuk mengatasi autistik anak mereka, tetapi melakukan pelarian (flight) dari kenyataan berat/pahit ini yaitu dengan menyakinkan diri sendiri bukan autistik. Bahaya pada tahap ini adalah jika penyangkalan ini diperkuat oleh orang lain, baik itu dokter/profesional ataupun bukan yang menyatakan bahwa anaknya bukan autistik. Orangtua dapat tertahan/terperangkap di dalam fase penyangkalan ini, yang akhirnya tidak melakukan usaha-usaha apapun.
Jika fase penyangkalan (denial) dapat terlampaui, maka tahap berikutnya adalah fase bertanya-tanya yaitu orangtua mencari tahu, mencari lebih banyak lagi informasi tentang autisme dan diagnosis autisme. Yang akhirnya orangtua pasrah dan dapat menerima kenyataan yang sebenarnya. Beruntunglah orangtua yang bisa melalui fase-fase tersebut dan mencapai fase penerimaan/menerima (acceptance).
Perlu diketahui bahwa untuk masing-masing orang, tahap-tahap sampai dengan penerimaan ini berbeda-beda, baik berbeda dalam hal reaksi.respons yang keluar/tampak, maupun dalam lamanya masing-masing fase berlangsung. Ada orang yang bisa melalui seluruh fase ini dengan cepat sampai dengan ke fase penerimaan, namun ada pula yang melalui dengan lambat di satu dua fase ini ataupun seluruh fase ini. Ada juga orang yang tertahan/terperangkap dalam suatu fase, yaitu mungkin tidak percaya terus, mungkin marah terus, atau menyangkal terus, atau mungkin bertanya-tanya terus. Jika kita mengalami hal ini, maka sudah seharusnyalah terlebih dahulu kita yang mendapat terapi. Salah satu terapi yang berperan untuk penerimaan ini adalah terapi rohani, yaitu mendekatkan diri kepada Allah, sabar dan tawakal, serta harus yakin terhadap taqdir berupa qodar baik dan “buruk” yang sudah digariskan oleh Nya. Percayalah bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah pastilah baik, pastilah Allah mempunyai rencana mengapa kita dianugerahi anak autistik, dan rencana Allah pastilah baik. Tidak pernah rencana Allah jelek atau menzhalimi umatNya, karena boleh jadi yang tidak kita sukai/kehendaki sebenarnyalah baik bagi kita (sedangkan yang kita sukai/kehendaki sebenarnya tidak baik bagi kita). Minimal, bahwa kita diberi kepercayaan yang besar oleh Allah untuk mengurus dan menjaga seorang anak spesial ini. Jika kita diberi kepercayaan oleh atasan di tempat kerja kita saja bangga, diberi kepercayaan oleh seorang manusia saja kita berbangga, nah sudah seharusnyalah dan sepatutnyalah jika kita teramat sangat-sangat-sangat bangga diberi kepercayaan oleh Pencipta dan Penguasa seluruh alam semesta ini.
Saya juga pernah mengalami hal ini, yaitu dianugerahi seorang putra yang autistik. Namun rupanya Allah mempunyai rencana baikNya sendiri. Yaitu, oleh karena penulis seorang dokter spesialis anak yang sudah terbiasa membaca berbagai text-book, jurnal, dan berbagai publikasi ilmiah, maka bagi penulis relatif mudah melahap pengetahuan tentang autisme ini dan terutama sekali dalam mempelajari serta menguasai metode ABA (Applied Behavior Analysis), yaitu suatu metode yang dasar-dasarnya sudah dikembangkan lebih dari 1 abad dan melalui banyak sekali penelitan, serta metode yang praktis, sistematis, terstruktur dan terukur, terlebih lagi sudah terbukti efektif dan efisien. Di samping ABA, juga Biomedical Intervention Therapy, yaitu pada tahun 2.000 penulis diminta oleh ibu Debby Sianturi yang adalah Ketua YPAI (Yayasan Peduli Autisme Indonesai) untuk menjadi Leader MD dalam mendampingi sekitar 20 orangtua selama persiapan serta selama sesi-sesi konsultasi dengan dokter Jeff Bradstreet, yaitu ahli dan praktisi Biomedical Intervention Therapy yang berkenan datang ke Indonesia. Sehingga akhirnya penanganan autisme di Indonesia terarah dalam jalur yang benar, yang bahkan tidak dialami./dinikmati oleh banyak negara lain, sehingga kemudian atas izin Allah dengan ABA dan Biomedical Intervention Therapy ini maka telah banyak penyandang autisme di Indonesia (dan Amerika) mencapai tingkat yang bisa dikatakan sembuh, yaitu suatu tingkat yang dulu dikatakan sebagai hal yang mustahil. Itulah rencana Allah, yaitu penulis dianugerahi anak autistik agar supaya menguasai penanganan autisme yang benar serta bisa menyebarluaskan untuk anak-anak/orangtua lain sehingga penanganan autisme di Indonesia berada dalam jalur yang benar, dengan hadiah bagi penulis yaitu Allah SWT menghadiahi kesembuhan kepada anak penulis, bahkan termasuk anak yang berprestasi.
Jadi, bagi orangtua, jangan membuang-buang waktu, tidak perlu lagi coba-coba metode lain yang tidak mempunyai dasar ilmiah, dan/atau belum ada penelitian yang membuktikan efektivitas dan efisiensinya.
Sejak tahun 1968 sudah ada metode ABA untuk Autisme, yang kemudian sejak tahun 2009 di Indonesia, saya dan Ibu Arneliza Anwar kembangkan menjadi smart ABA yang (almost) perfect seperti yang dikemukakan pada baris-baris sebelumnya, di samping juga adanya Biomedical Intervention Therapy yang bukan merupakan ilmu baru dan bukan ilmu alternatif, tetapi merupakan ilmu kedokteran mainstreaming karena dasar-dasar ilmiahnya serta praktek-prakteknya adalah dari ilmu-ilmu kedokteran yang sudah ada.
Seorang sahabat yang anak autistiknya sudah cukup besar pada tahun 2000 mengatakan kepada saya bahwa “mungkin apa-apa yang kita rintis sekarang ini bukan untuk anak-anak kita, tetapi pastilah orang-orangtua dan anak-anak mereka sesudah generasi kita ini akan menikmati buah/hasil dari rintisan kita saat ini”.
Jadi, intinya pesan bagi orangtua yang anaknya didiagnosis autisme, adalah:
- Ketahui dan sadari bahwa ada suatu mekanisme yang merupakan suatu refleks tubuh dalam menghadapi suatu kenyataan yang berat.
- Jangan sampai berlama-lama apalagi tertahan pada suatu fase yang menyebabkan tertundanya anak mendapat intervensi dini yang sesuai. Mungkin perlu berkonsultasi dengan ahli di bidang kejiwaan/psikologi, bila perlu orangtua mendapat obat-obat yang sesuai. Terapi yang jangan dilupakan dan yang terpenting adalah terapi rohani.
- Jika lingkungan melihat orangtua tidak dapat menerima kenyataan (tidak mencapai tahap penerimaan) dengan segera (atau suami/istri mengetahui bahwa kondisi pasangannya adalah demikian), maka sebaiknya menolong dengan misalnya menghubungi alim-ulama/pemuka-agama yang “suaranya (nasihatnya) didengar” oleh orangtua tersebut.
- Setelah melewati masa berduka ini, segeralah mempelajari segala sesuatu tentang autisme, dan terutama tentang terapi yang tepat untuk autisme.
- Orangtua harus kritis terhadap berbagai hal, terutama sekali tentang metode terapi dan/atau terapis dan/atau tempat-tempat terapi.
- Pilihlah terapis/tempat-terapi yang menggunakan metode terapi yang dirancang khusus untuk autistik dan yang secara ilmiah telah terbukti efektif dan efisien. Karena banyak terapis/tempat-terapi yang tidak menggunakan metode tertentu, atau metode yang bukan dirancang untuk autisme, atau metode yang tidak ada dasar ilmiahnya maupun tidak ada penelitian ilmiah yang membuktikan metode itu efektif dan efisien.
- Pilihlah terapis/tempat-terapi yang yakin bahwa autisme adalah suatu kondisi yang dapat disembuhkan. Oleh karena sementara ini ada orang-orang yang masih mempunyai keyakinan bahwa autisme tidak bisa sembuh/disembuhkan. Orang-orang seperti itu pastilah tidak akan serius menangani anak autistik kita, oleh karena mungkin mereka akan berpikir “serius tidak serius, toh tidak akan sembuh, jadi lebih baik santai sajalaaah...”. Hanya mereka yang yakin bahwa autisme bisa sembuh/disembuhkan yang akan “jumpalitan” mengerahkan segala tenaga dan kemampuan dalam menangani anak-anak autistik kita.
- Tanyakan assessment (penilaian) sebelum terapi dimulai. Tanyakan kurikulum/program/aktivitas yang akan dilakukan/diterapkan pada anak kita. Teliti dan tanyakan kaitan antara assessment dengan kurikulum/program.aktivitas, yang seharusnya link and match. Karena banyak yang melakukan terapi tanpa melakukan assessment, ataupun assessment hanya dilakukan sekedar formalitas sehingga kurikulum/program/aktivitas tidak berdasarkan hasil assessment yang baik dan benar.
- Orangtua jangan malu/kuatir dikatakan cerewet, oleh karena sepenuhnya hak orangtua untuk diberi informasi yang cukup dan menanyakan berbagai hal yang ingin diketahuinya dan/atau tidak dimengerti/difahaminya, sebelum terapi dilakukan, yang mana merupakan bagian dari informed-consent.
- Bergabunglah dengan kelompok orangtua yang mempunyai keyakinan bahwa autisme bisa sembuh/disembuhkan, sehingga tidak merasa sendirian di dunia ini, serta dapat berbagi suka-duka serta pemecahan/mengatasi masalah. Pengalaman-pengalaman positif dari orang-orangtua yang lebih dahulu menangani anak autistik mereka, akan sangat bermanfaat bagi kita sehingga menghemat waktu yang sangat berharga ini dalam penanganan anak autistik kita.
- Penanganan penyandang autisme secara serius dengan smart ABA dan smart Biomedical Intervention Therapy, akan menguras banyak waktu, tenaga, dan perhatian. Tetapi jangan dilupakan bahwa kita sebagai orangtua adalah juga manusia biasa, yang dilengkapi dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Mungkin kita tidak termasuk manusia super, sehingga konsentrasi kita terhadap penyembuhan anak autistik kita akan menguras banyak enerji dan kapasitas mental kita. Sehingga akhirnya bisa terjadi suatu kondisi yang disebut sebagai burn-out. Yaitu sampai batas kemampuan kita terlampaui, maka kita akan jenuh, sehingga kita jadi tidak melakukan apapun. Tidak bisa melakukan apapun, tidak mampu melakukan apapun, tidak mempunyai semangat serta gairah untuk melakukan apapun. Ujung-ujungnya malah yang tadinya kita top-full-speed, malah menjadi seperti menelantarkan anak spesial kita itu.
Jadi, untuk menghindari terjadinya hal tersebut, maka kita perlu meluangkan suatu waktu atau suatu hari untuk “berlibur”, Me-Day, hariku, hari khusus untuk diriku. Bisa saja itu sehari penuh atau kurang, namun intinya adalah break, istirahat, luangkan waktu untuk diri kita, tinggalkan sementara semua persoalan, semua kepusingan, semua kekacauan, semua kecemasan, semua gundah-gulana, dll.
Luangkan waktu sejenak untuk diri kita saja, bersenang-senanglah, hiburlah diri kita, agar supaya kita kembali segar, kembali di-charge, kembali semangat, kembali bergairah untuk kembali menangani anak spesial kita. Hal ini tidak identik dengan kita perlu mengeluarkan biaya yang besar, mungkin saja hanya sekedar duduk di pinggir pantai, mendengarkan debur ombak, sambil makan makanan kecil, menikmati minuman ringan, dan memandangi tenggelamnya matahari. Pokoknya suatu hal yang kita suka serta menyenangkan dan mungkin seperti yang dulu kadang/sering kita lakukan. Ini seperti halnya orang bekerja, kenapa harus ada libur mingguan (hari Minggu atau Sabtu dan Minggu), kenapa perlu cuti tahunan. Jawabannya adalah untuk refreshing, untuk recharge.
- Selain itu, hal yang penting juga adalah memperhatikan pasangan (suami/istri) kita. Statistik memperlihatkan bahwa angka perceraian lebih tinggi pada keluarga yang mempunyai anak autistik, dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai anak autistik. Di samping itu juga, perlu diperhatikan terjadinya sibling-rivalry (rivalitas saudara kandung), dimana terjadi kecemburuan pada anak yang non autistik, oleh karena perhatian kedua orangtuanya tercurah pada anak yang autistik.
Artikel ini juga bisa dibaca di kidaba.com